Senin, 31 Oktober 2016

-Bu Saeni dan Ibuku--

Masih tentang Bu Saeni. Perempuan paruh baya yang baru-baru ini menuai kontroversi perihal dirazia-nya warteg milik Ibu tersebut karena diannggap melanggar perda setempat, tetap buka di siang hari pada bulan Ramadhan.
Sebagai orang yang cukup aktif sebagai pengguna social media, aku cukup keras merespon tindakan SatPol PP yang merazia warung makan milik Ibu Saeni tersebut. Tak hanya merespon, perkataan nyinyirpun tak kuasa kutahan dari jemariku yang terus memaksa untuk mengetik dikolom status FB-ku. Jika teman-teman di FB-ku merasa terganggu akan hal ini, mungkin ini saatnya aku meminta maaf yang sebesar-besarnya.
Kembali ke masalah Ibu Saeni. Sebenarnya, para Netizen bereaksi bukan hanya karena satu alasan saja, masalah siapa yang harus dihormati, ataupun masalah menutup rezeki orang selama bulan Ramadhan. Namun bisa jadi karena ada hal lain yang sifatnya lebih kepada pengalaman personal. Contohnya aku.
Masih terekam jelas video di benakku, kala petugas Satpol PP menyita dagangan makanan Bu Saeni dengan paksa, dan kemudia memasukkannya kedalam plastik putih berukuran besar. Yah, kira-kira seukuran poly-bag. Disisi lain, tangan Bu Saeni yang penuh keriput dan kerutan menahan tangan-tangan kasar para petugas SatPol PP yang tengah sibuk "meringkus" semua barang dagangan Bu Saeni secara paksa. "Ya Tuhan!" Sakit sekali rasa hatiku melihat apa yang jelas terpampang tepat didepan mataku, meski hanya dalam sebuah video.
Ya, rasanya sakit sekali. Pemandangan menyakitkan ini kemudian membawaku pada sekitar 8 tahun yang lalu. Waktu dimana ibuku mencoba mengadu peruntungan dengan membuka warung makan kecil-kecilan di daerah Pringsewu, Lampung. Sedangkan ayahku tidak tinggal bersama aku dan ibuku karena harus mengurusi pertambakan udang-nya, yang juga tak lagi menghasilkan. Hanya ada aku, ibuku, dan adikku yang masih duduk di kelas 1 SD saat itu. Sedangkan aku duduk di kelas 11 SMA.
Pekerjaan sebagai pengelola warung makan tidaklah mudah kawan-kawan. Sangat melelahkan. Ditambah lagi, mamaku tidak memiliki pembantu saat itu. Sedangkan pekerjaan mamaku tidak hanya untuk mencari uang, tapi juga harus mengurusi keluarga, juga mendidik anak-anaknya. Bagaimana tidak berat, dikala hampir setiap orang masih terlelap, mamaku harus bangun pukul 03 pagi untuk kepasar, agar mendapatkan sayuran dan bahan-bahan makanan yang masih segar. Ditinggalkannya lah aku dan adikku setiap hari dikala itu di rumah. Bayangkan, seorang perempuan yang tak lagi muda usianya, harus melawan dinginnya udara pagi, menusuk hingga ke tulang dan sendi-sendi, kejam sekali. Juga, harus berjibaku dan berhimpitan dengan banyak orang di pasar, sembari menahan rasa kantuk yang terus mengutuk, yang kadang tak urung untuk dibujuk. Itu baru tahap awal.
Setibanya di rumah, Ibuku harus membersihkan seisi rumah, juga seisi ruangan warung makan agar tetap sedap dipandang mata, jika pembeli hendak singgah dan berbelanja. Aku tidak hanya tinggal diam tentunya. Sering kali tugas ini aku yang ambil alih sebelum aku berangkat ke sekolah. Ku rapikan rumahku, ku sapu, ku pel, ku bereskan semua yang tak terlihat pada tempatnya. Setelah itu, ku cuci semua piring-piring kotor bekas para pelanggan yang makan di malam hari sebelumnya. Ya, ini rutinitasku semasa SMA. Beruntunglah kalian yang bangun tidur masih bisa kesiangan, langsung mandi, dan sarapan sudah tersedia di meja, disaat hendak pergi ke sekolah.
Kembali lagi ke Ibuku. Sesampainya di rumah, ibuku kemudian memasak beberapa jenis masakan dengan tangannya sendiri. Sayur tumis, sayur kuah santan, ikan goreng, ayam goreng, telur goreng, aneka gorengan, dan banyak lagi. Bayangkan, semua dikerjakan oleh Ibuku seorang. Lebih parahnya, tak sekalipun Ibuku menggunakan blender untuk membuat bumbu masakan-masakan tersebut melainkan dengan ulekan tangan secara tradisional. Selain mahal, juga "magic" dari ulekan tangan juga lebih lezat. Tak heran jika Ibuku sering mengeluh tangannya pegal di malam hari sebelum ia tidur. Semua dikerjakan sendiri oleh Ibuku setiap pagi. Sedangkan aku dan adikku harus berangkat ke sekolah. Kadang aku tak kuasa membayangkan luar biasanya Ibuku harus “mengulek” bumbu-bumbu dan rempah-rampah yang ia gunakan untuk memasak bahan makanan itu. “Tak letihkah ia?” Sungguh, satu inginku saat itu. Aku hanya ingin jadi orang sukses. Membahagiakan Ibuku, mengajaknya jalan-jalan, dan membelikan apapun yang ia inginkan. Tak jarang, selagi memasak, banyak pelanggan Ibuku yang mencari makanan dipagi hari, sekedar untuk sarapan. Jika mereka datang, pastilah Ibuku mondar-mandir ke dapur dan ke etalase karena sembari mengecek apakah masakan yang ia tinggalkan diatas kompor sudah siap atau belum. Dan ya, semua dilakukan olehnya seorang.
Disaat aku tiba di rumah sepulang sekolah, hal pertama yang aku lakukan adalah mengecek etalase. Sering ku jumpai ibuku tengah terlelap didepan TV, sekedar menghilangkan rasa letihnya. Nampak olehku wajah suci dan mulianya ia sebagai seorang Ibu. Ingin sekali aku memeluknya, membasuh peluhnya, dan menggantikan semua beban yang dipikulnya. Disaat aku melihat etalase, aku akan sangat bahagia jika saat itu, baskom-baskom dan piring makanan itu kosong karena pastinya laku terjual. Jika hal ini terjadi, aku kemudian yang menggantikan Ibu untuk memasak menu untuk makan malam. Ya, karena memang warung makan kami buka sampai malam. Aku memang pandai memasak, meskipun aku seorang lelaki. Karena Ibuku menurunkan bakat memasaknya kepadaku. Tak heran jika aku selalu masak beraneka macam makanan selama aku disini, di Bristol. Setelah memasak, aku mencuci piring-piring kotor bekas para pelanggan Ibuku yang makan di warung makan kami. Setelah itu, aku membersihkan ruangan warung makan kami dan mengepelnya. Lelah sekali rasanya. Setelah seharian aku di sekolah, namun aku masih harus berjibaku dengan semua pekerjaan ini. Tapi aku tak punya pilihan, aku harus meringankan pekerjaan Ibuku. Tak jarang aku protes akan nasibku kala itu. Ketika meilhat teman sebayaku, mereka dengan asiknya nongkrong sepulang sekolah, kumpul-kumpul di rumah teman, atau sekedar pergi ke kafe untuk dikatakan sebagai anak gaul. Namun nasibku tak membawaku pada dunia yang seperti itu. Tak heran, jika aku menjadi anak yang kurang up to date dan gaul. Namun, menjadi tidak gaul lebih baik asalkan Ibuku dapat tidur terlelap disiang hari karena pekerjaannya sudah aku ambil alih.
Akan tetapi, ada kala dimana hatiku merasa teriris-iris, tersayat-sayat, dan terpotong-potong menjadi beberapa bagian. Ini adalah dimana ketika setibanya aku dirumah, dan melihat etalase, makanan masih tersisa banyak, baskom-baskom masih penuh, piring-piring tak terlihat berkurang isinya. Ketika aku bertanya pada Ibuku, “Mah, hari ini sepi?” Ibuku hanya menjawab, “Iya. Sepi banget dari pagi.” Tak kuasa aku melihat raut wajahnya, menunjukkan rasa kecewanya. Dan, jika sampai malam makanan-makanan itu masih tidak laku terjual, makanan-makan mudah basi terpaksa terbuang sia-sia. Perih. Perih sekali rasanya ketika harus membuang semua makanan-makanan yang tidak laku terjual tersebut. Terbayang olehku, beratnya Ibuku bangun saat dini hari menahan dingin untuk kepasar, banyaknya tetesan peluh Ibuku yang membanjiri tubuhnya saat berdesakkan disana, pegalnya tangan Ibuku dikala mengulek bumbu-bumbu, dan semua perjuanganku membantu Ibuku dalam mempersiapkan semua makanan ini menghantui pikiranku. Mengharapkan pundi-pundi rezeki, namun apes yang didapatkan. Semua makanan terbuang sia-sia.
Itu mengapa, saat aku melihat apa yang menimpa Ibu Saeni, hatiku sangat terpukul sekali. Terenyuh rasanya. Tak kuasa aku melihat ketika para petugas Satpol PP memasukkan dengan paksa barang dagangan Bu Saeni kedalam plastic bening itu. Kejam sekali rasanya. Aku rasa, apa yang dia alami selama berdagang, tidak beda jauh dengan apa yang Ibuku dan aku pernah alami juga. Jerih payah untuk menghasilkan masakan untuk dijual, dengan seenaknya disita dengan cara yang tidak manusiawi dan keji. Aku membayangkan masakan-masakan Ibu Saeni yang disita petugas itu, seperti masakan-masakan yang harus Ibuku buang karena tidak laku di siang harinya. Entahlah, kadang aku sampai tidak bisa merasakan apa-apa jika mengingat kejadian itu, saking tak kuasa menahan sedih dan sakitnya. Rasa “BAPER” inilah yang kemudian membuatku bereaksi keras pada saat isu Ibu Saeni itu dan membuatku untuk berkoar-koar di FB ini. Bukan masalah agama, tapi masalah kemanusiaan. Kasih sayang. Bukan KEDURJANAAN!
Semoga Tuhan melimpahkan rahmatnya bagi kita semua pada bulan Ramadhan ini, bagi mereka yang sulit mencari rezeki, juga bagi mereka, para Ibu-Ibu kita yang luar biasa!

--Just Bring Them. I Don't Want You to Go Home Empty-Handed--

Peristiwa ini mungkin sering terjadi di Indonesia, namun sangat asing dan aneh ketika aku mengalaminya disini. Tepatnya dua hari yang lalu, sepulangnya aku dari Mabes PPI Bristol, di seputaran city centre. Saat itu sedang hujan yang cukup deras, cuaca yang sangat jarang terjadi disini. Tetap ada hujan, namun biasanya hanya rintik-rintik. Berbeda dengan hari itu yang cukup deras.
Dengan membawa payung yang berukuran cukup besar, aku melewati kawasan city centre untuk kembali ke apartemenku di dekat komplek kampus University of Bristol. Aku melangkah dan terus berjalan meski hujan tak sedikitpun menunjukkan tanda akan berhenti. City centre merupakan kawasan pusat perbelanjaan dimana mall dan toko-toko bertebaran, yang juga merupakan tempat-tempat yang harus aku lewati dalam perjalananku pulang saat itu.
Hujan tidak semakin reda, namun sebaliknya semakin luar biasa. Hasilnya, celana dan sepatuku menjadi semakin basah karena payung tak kuasa melindungiku dari derasnya cucuran hujan dari yang sang Maha Pencipta. Aku ingin sekali memutuskan untuk berteduh, namun harus mencari tempat yang pas untuk melindungiku dari percikan hujan yang terus menggaduh. Rasanya tak mungkin ku lanjutkan berjalan, karena jarak menuju apartemenku masih sekitar 10 menitan. Kulihat didepan mataku sebuah toko oriental yang tak begitu besar dibandingkan dengan toko oriental lainnya yang terdapat di Bristol. Tiba-tiba aku teringat bahwa aku butuh untuk membeli tempe karena aku berencana membuat tempe mendoan untuk menu berbuka puasa, dan kebetulan stok tempe di toko oriental didekat apartemenku sedang kosong.
Setelah kulipat payungku, ku letakkan prisai yang melindungiku saat hujan tersebut didepan toko oriental itu. Dengan sedikit tergesa karena kedinginan, aku masuk ke dalam toko oriental tersebut. Aku menuju area penyimpanan bahan makanan beku atau freezer yang ditempatkan agak disudut dan dibelakang ruangan toko tersebut. Kubuka salah satu freezer disudut tersebut, dan syukurlah, masih ada beberapa stok tempe didalamnya. Ku ambil dua buah tempe, tiga buah indomie goreng, juga seikat bayam. Dengan wajah sumringah aku menghampiri kasir dan hendak membayar. "Akhirnya, makan tempe aku hari ini". Aku membatin.
Namun perasaan sumringah itu tiba-tiba hilang melihat selembar kertas tertempel di meja kasir dan bertuliskan "Our card machine is out of service. We accept cash only." Celaka! Aku memang sangat jarang membawa uang tunai, dan hanya membawa kartu debit untuk berbelanja. Untuk lebih meyakinkan, aku bertanya kepada kasir toko tersebut. Dia seorang laki-laki berwajah pure oriental, berusia sekitar 45-50 tahunan. "Excuse me. So you don't accept card, sir?" Tanyaku. "Yes. I am so sorry for this." Jawabnya. Akupun lesu dan lemas. "Gagal deh makan tempe sore ini". Batinku. Dengan berat hati akupun hendak meletakkan kembali barang-barang yang sudah aku ada di tanganku. Namun sebelum itu dia berkata, "But brother, there is a cash point near that shop." Sambil menunjuk arah M&S dibelakangnya yang berjarak sekitar 30 meteran. "I am sorry sir. But it's still raining, I am so lazy to go to that way." Jawabku sedikit kesal karena memang hujan belum berhenti. Semakin kecewa, akupun berjalan kebelakang dan meletakkan kembali indomie ke rak dan tempe kedalam freezer. Tiba-tiba si bapak tersebut mendatangiku dan berkata dengan sangat lembut dan penuh sopan santun, "My friend. If you really need them, you can bring them all and you can pay anytime you pass by. I don't want you going home empty-handed." Tambahnya.
Seakan tak percaya dengan apa yang dia ucapkan, akupun menjawab, "Are you sure, sir? Is it okay for you?". "Yes. you can pay anytime you pass by. It doesn't necessarily need to be today". "But..." belum selesai aku menjawab, dia berkata "I know you are a student. I don't want you to be disappointed because you do not get what you need."
Aku terharu. Dengan berat hati dan tak mengelak akupun bersyukur atas tawaran ini, aku kemudian membawa barang-barang yang aku butuhkan tersebut yang sudah dimasukkan kedalam plastik putih. "This is the recept. Whenever you come here and want to pay, you just show this to me." Pungkasnya. "Yes, sir. Thank you thank you so much for this." Jawabku. "That's alright. This is our mistake. Have a good evening. Enjoy your dinner." Jawabnya.
Aku pun keluar toko tersebut. Ku ambil payungku, ku buka, dan ku berjalan kembali melewati hujan yang belum juga reda. Ditengah guyuran hujan tersebut, aku berkata dalam hati. "Ya Allah. Baik sekali orang itu. Bahkan dia tidak mengenalku. Terus terang aku bukan pelanggan setianya. Akupun sangat jarang ke toko itu, belum tentu sebulan sekali. Namun dia sangat percaya padaku. Seolah dia mengerti aku sedang berpuasa 19 jam, dan sangat mengidamkan tempe untuk berbuka. Ya Allah, berikanlah segala kebaikan hidup untuknya."
Aku sangat tersentuh akan apa yang telah diperbuat oleh pemilik toko tersebut. Dia berbuat baik kepadaku meskipun dia tidak tahu siapa aku, juga tanpa memandang rasku sebagai pendatang di negeri ini. Agama? Aku yakin dia seperti warga Cina lainnya sebagai penganut komunis, namun tak menghalangi niatnya untuk berbuat baik. Meringankan beban orang lain, disaat membutuhkan.
Akan kuingat selalu kebaikan bapak itu. Insya Allah, akan juga menjadikan semangatku untuk berbuat lebih banyak bagi mereka yang membutuhkan. Singkat kata, seseorang tidak perlu beragama untuk berbuat baik. Seseorang hanya butuh menjadi manusia, yang memiliki rasa kemanusiaan. Karena banyak mereka yang mengaku beragama, namun menutup mata ketika melihat mereka yang menderita meminta-minta, bahkan didepan mata mereka.
Chantry Court, Flat 407B, Bristol, UK.
At 03.29 AM
-MyUniversityStory -Motivation

Ketika anak tukang A lebih keren dari anak yang tidak punya orang tua

Congratulations!
Anak tukang A anak tukang B yang dapat prestasi sering sekali ter-blow up media.
Sedangkan anak yang orang tuanya bukan apa-apa, karena mereka sakit atau sudah tiada, mendapat prestasi tidak ada media yang membahas beritanya.
Mungkin berprestasi karena jadi anak Tukang A dan Tukang B ini lebih keren dari pada mereka yang berprestasi tapi tidak (lagi) punya orang tua. *JustOpinion *YouMayDisagree

WHY 12 Years Learning English yet still Cannot Speak?

The finding of my current research indicates that there are two main big, let's say, "failures" that ELT in Indonesia still encounters in order to make L2 learners successfully and properly involved in an L1 discourse community.
First, it is found that many Indonesian L2 learners are not or less equipped by what so called "pragmatic competence", a competence to use a language appropriately in a particular context. As a result, the learners are often failed to produce contextually appropriate utterances that are used by native speakers in norms and by default. The learners tend to utilise Indonesian's customised linguistic competence and transfer/translate it to L2/English literally. Therefore, a two-way-meaningful interaction among non-native and native speakers or multi-lingual interlocutors is rare to happen. They may be linguistically correct, but contextually inappropriate.
Second, I found out that Indonesian learners are not or less exposed by what so called "authentic materials", materials used in a daily life, not made for the purpose of teaching/learning, and are brought into classroom teaching context. I have come up with a conclusion that this issue is the main factor why Indonesian L2 learners are lack of pragmatics competence mentioned previously. Why has it come that way? The main purpose of employing authentic materials in a language classroom is to diminish and eliminate the gap between the classroom and the daily life. Therefore, a set of transactional conversations that occur in a daily interaction should have been fundamentally, prominently, and paramountly exposed to the L2 learners so that they would have understood how the language is used in reality. Instead of drilling the learners to a number of lexical morphologies and syntaxes, it will be better to make up a classroom to become a number of different discourse settings such as airport, bus station, market, mall, and many other settings that the learners may often face in daily life. No worries, the grammar teaching still can be applied but by switching it from "Focus on Forms" to "Focus on Form".
To sum up, there are several things to evolve and innovate within the development of ELT in Indonesia. The thing that I highlight is the notion of ELT teacher's preparation training. After looking through several courses that ELT department in several universities in Indonesia offer, I found out that there is no such specific "intercultural pragmatics" course to be mandatorily taken by pre-service teachers in Undergraduate levels while I found almost all post-graduate levels do offer this course. Notwithstanding this reality is quite unfortunate, the revolution of ELT curriculum designed by the Ministry of Education could be another solution considering the demand of highly proficient English communicative competence is extremely high in this globalised world.

"SAYA PENDIDIK YANG (MASIH) GAGAL"


Sepulangnya saya setelah menghantarkan si cinta ke rumahnya di bilangan Jatiwarna, menyusuri tepian jalanan Tol Jor ke arah Pasar Rebo-Pondok Indah, ada satu hal yang sangat menusuk-nusuk hati saya. Pedih dan sakit sekali. Membuat saya merenung sepanjang jalan pulang, dan tak terasa bulir-bulir air mata tak dapat saya bendung.
Masih memacu sepeda motor CS1 saya dengan kecepatan setandar, tiba-tiba dari arah belakang saya terdengar rentetan klakson sepeda motor, diiringi suara knalpot motor yang teramat bising, dan suara-suara teriakan-teriakan tak enak didengar mendahului saya dengan semberono tanpa hati-hati. Setelah saya perhatikan, ternyata mereka adalah segerombolan jama'ah pengajian yang hendak menuju masjid tempat dimana pengajian diadakan malam ini. Tidak ada helm di kepala mereka melainkan kopiah putih, jauh dari kata aman untuk berkendara. Ditambah lagi, sepeda motor mereka iring-iringan dan ugal-ugalan tanpa memikirkan keselamatan mereka sendiri dan pengguna jalan yang lain. Mirisnya, sebagian besar mereka masih dibawah umur. Yah, kira-kira mereka masih berusia 13-16 tahunan.
Kemudian saya bertanya, tidakkah orang tua mereka di rumah mengetahui perbuatan anak-anak mereka ini? Tidakkah guru-gurunya di sekolah mengajarkan disiplin dan tertib di jalanan? Tidak main-main, sudah banyak nyawa terenggut akibat kecelakaan di jalan raya. Dan mereka, para pelajar dibawah umur, sedang berjumawa dan bangga menggunakan atribut keagamaan mereka dan melalaikan atribut di jalan raya. Beginikah nasib pendidikan kita? Beginikah buah hasil pendidikan yang mereka kenyam di sekolah? Tidakkah guru-guru mereka (dan kita para guru) merasa berdosa melihat mereka, calon pemimpin masa depan bangsa mengacuhkan kedisiplinan dan menaruhkan nyawa mereka?
Wahai para guru, lihatlah anak-anak didikmu itu. Jika hanya mengajarkan materi pelajaran, saya pikir guru les privat saja sudah cukup. Tugas kalian dan kita tidak hanya itu. Buat apa pintar matematika tapi tak melanggar aturan lalu lintas, buat apa pintar agama tapi menzolimi orang lain, dan buat apa pintar Bahasa Inggris namun tidak memiliki SIM saat berkendara?
Wahai para guru, anak-anak didikmu itu adalah titipan Yang Kuasa. Mereka amanahmu. Tujuan mereka ada didalam kelasmu adalah untuk "menjadi" MANUSIA, bukan hanya pintar matematika. Mari sama-sama kita berintrospeksi, guru macam apakah kita ini? Saya akui, saya gagal. Saya gagal. Saya gagal, jika ini terus berlanjut dan lebih parah lagi jika terus menyebar luas. Saya masih menjadi guru yang GAGAL.