Masih tentang Bu Saeni. Perempuan paruh baya yang baru-baru ini menuai kontroversi perihal dirazia-nya warteg milik Ibu tersebut karena diannggap melanggar perda setempat, tetap buka di siang hari pada bulan Ramadhan.
Sebagai orang yang cukup aktif sebagai pengguna social media, aku cukup keras merespon tindakan SatPol PP yang merazia warung makan milik Ibu Saeni tersebut. Tak hanya merespon, perkataan nyinyirpun tak kuasa kutahan dari jemariku yang terus memaksa untuk mengetik dikolom status FB-ku. Jika teman-teman di FB-ku merasa terganggu akan hal ini, mungkin ini saatnya aku meminta maaf yang sebesar-besarnya.
Kembali ke masalah Ibu Saeni. Sebenarnya, para Netizen bereaksi bukan hanya karena satu alasan saja, masalah siapa yang harus dihormati, ataupun masalah menutup rezeki orang selama bulan Ramadhan. Namun bisa jadi karena ada hal lain yang sifatnya lebih kepada pengalaman personal. Contohnya aku.
Masih terekam jelas video di benakku, kala petugas Satpol PP menyita dagangan makanan Bu Saeni dengan paksa, dan kemudia memasukkannya kedalam plastik putih berukuran besar. Yah, kira-kira seukuran poly-bag. Disisi lain, tangan Bu Saeni yang penuh keriput dan kerutan menahan tangan-tangan kasar para petugas SatPol PP yang tengah sibuk "meringkus" semua barang dagangan Bu Saeni secara paksa. "Ya Tuhan!" Sakit sekali rasa hatiku melihat apa yang jelas terpampang tepat didepan mataku, meski hanya dalam sebuah video.
Ya, rasanya sakit sekali. Pemandangan menyakitkan ini kemudian membawaku pada sekitar 8 tahun yang lalu. Waktu dimana ibuku mencoba mengadu peruntungan dengan membuka warung makan kecil-kecilan di daerah Pringsewu, Lampung. Sedangkan ayahku tidak tinggal bersama aku dan ibuku karena harus mengurusi pertambakan udang-nya, yang juga tak lagi menghasilkan. Hanya ada aku, ibuku, dan adikku yang masih duduk di kelas 1 SD saat itu. Sedangkan aku duduk di kelas 11 SMA.
Pekerjaan sebagai pengelola warung makan tidaklah mudah kawan-kawan. Sangat melelahkan. Ditambah lagi, mamaku tidak memiliki pembantu saat itu. Sedangkan pekerjaan mamaku tidak hanya untuk mencari uang, tapi juga harus mengurusi keluarga, juga mendidik anak-anaknya. Bagaimana tidak berat, dikala hampir setiap orang masih terlelap, mamaku harus bangun pukul 03 pagi untuk kepasar, agar mendapatkan sayuran dan bahan-bahan makanan yang masih segar. Ditinggalkannya lah aku dan adikku setiap hari dikala itu di rumah. Bayangkan, seorang perempuan yang tak lagi muda usianya, harus melawan dinginnya udara pagi, menusuk hingga ke tulang dan sendi-sendi, kejam sekali. Juga, harus berjibaku dan berhimpitan dengan banyak orang di pasar, sembari menahan rasa kantuk yang terus mengutuk, yang kadang tak urung untuk dibujuk. Itu baru tahap awal.
Setibanya di rumah, Ibuku harus membersihkan seisi rumah, juga seisi ruangan warung makan agar tetap sedap dipandang mata, jika pembeli hendak singgah dan berbelanja. Aku tidak hanya tinggal diam tentunya. Sering kali tugas ini aku yang ambil alih sebelum aku berangkat ke sekolah. Ku rapikan rumahku, ku sapu, ku pel, ku bereskan semua yang tak terlihat pada tempatnya. Setelah itu, ku cuci semua piring-piring kotor bekas para pelanggan yang makan di malam hari sebelumnya. Ya, ini rutinitasku semasa SMA. Beruntunglah kalian yang bangun tidur masih bisa kesiangan, langsung mandi, dan sarapan sudah tersedia di meja, disaat hendak pergi ke sekolah.
Kembali lagi ke Ibuku. Sesampainya di rumah, ibuku kemudian memasak beberapa jenis masakan dengan tangannya sendiri. Sayur tumis, sayur kuah santan, ikan goreng, ayam goreng, telur goreng, aneka gorengan, dan banyak lagi. Bayangkan, semua dikerjakan oleh Ibuku seorang. Lebih parahnya, tak sekalipun Ibuku menggunakan blender untuk membuat bumbu masakan-masakan tersebut melainkan dengan ulekan tangan secara tradisional. Selain mahal, juga "magic" dari ulekan tangan juga lebih lezat. Tak heran jika Ibuku sering mengeluh tangannya pegal di malam hari sebelum ia tidur. Semua dikerjakan sendiri oleh Ibuku setiap pagi. Sedangkan aku dan adikku harus berangkat ke sekolah. Kadang aku tak kuasa membayangkan luar biasanya Ibuku harus “mengulek” bumbu-bumbu dan rempah-rampah yang ia gunakan untuk memasak bahan makanan itu. “Tak letihkah ia?” Sungguh, satu inginku saat itu. Aku hanya ingin jadi orang sukses. Membahagiakan Ibuku, mengajaknya jalan-jalan, dan membelikan apapun yang ia inginkan. Tak jarang, selagi memasak, banyak pelanggan Ibuku yang mencari makanan dipagi hari, sekedar untuk sarapan. Jika mereka datang, pastilah Ibuku mondar-mandir ke dapur dan ke etalase karena sembari mengecek apakah masakan yang ia tinggalkan diatas kompor sudah siap atau belum. Dan ya, semua dilakukan olehnya seorang.
Disaat aku tiba di rumah sepulang sekolah, hal pertama yang aku lakukan adalah mengecek etalase. Sering ku jumpai ibuku tengah terlelap didepan TV, sekedar menghilangkan rasa letihnya. Nampak olehku wajah suci dan mulianya ia sebagai seorang Ibu. Ingin sekali aku memeluknya, membasuh peluhnya, dan menggantikan semua beban yang dipikulnya. Disaat aku melihat etalase, aku akan sangat bahagia jika saat itu, baskom-baskom dan piring makanan itu kosong karena pastinya laku terjual. Jika hal ini terjadi, aku kemudian yang menggantikan Ibu untuk memasak menu untuk makan malam. Ya, karena memang warung makan kami buka sampai malam. Aku memang pandai memasak, meskipun aku seorang lelaki. Karena Ibuku menurunkan bakat memasaknya kepadaku. Tak heran jika aku selalu masak beraneka macam makanan selama aku disini, di Bristol. Setelah memasak, aku mencuci piring-piring kotor bekas para pelanggan Ibuku yang makan di warung makan kami. Setelah itu, aku membersihkan ruangan warung makan kami dan mengepelnya. Lelah sekali rasanya. Setelah seharian aku di sekolah, namun aku masih harus berjibaku dengan semua pekerjaan ini. Tapi aku tak punya pilihan, aku harus meringankan pekerjaan Ibuku. Tak jarang aku protes akan nasibku kala itu. Ketika meilhat teman sebayaku, mereka dengan asiknya nongkrong sepulang sekolah, kumpul-kumpul di rumah teman, atau sekedar pergi ke kafe untuk dikatakan sebagai anak gaul. Namun nasibku tak membawaku pada dunia yang seperti itu. Tak heran, jika aku menjadi anak yang kurang up to date dan gaul. Namun, menjadi tidak gaul lebih baik asalkan Ibuku dapat tidur terlelap disiang hari karena pekerjaannya sudah aku ambil alih.
Akan tetapi, ada kala dimana hatiku merasa teriris-iris, tersayat-sayat, dan terpotong-potong menjadi beberapa bagian. Ini adalah dimana ketika setibanya aku dirumah, dan melihat etalase, makanan masih tersisa banyak, baskom-baskom masih penuh, piring-piring tak terlihat berkurang isinya. Ketika aku bertanya pada Ibuku, “Mah, hari ini sepi?” Ibuku hanya menjawab, “Iya. Sepi banget dari pagi.” Tak kuasa aku melihat raut wajahnya, menunjukkan rasa kecewanya. Dan, jika sampai malam makanan-makanan itu masih tidak laku terjual, makanan-makan mudah basi terpaksa terbuang sia-sia. Perih. Perih sekali rasanya ketika harus membuang semua makanan-makanan yang tidak laku terjual tersebut. Terbayang olehku, beratnya Ibuku bangun saat dini hari menahan dingin untuk kepasar, banyaknya tetesan peluh Ibuku yang membanjiri tubuhnya saat berdesakkan disana, pegalnya tangan Ibuku dikala mengulek bumbu-bumbu, dan semua perjuanganku membantu Ibuku dalam mempersiapkan semua makanan ini menghantui pikiranku. Mengharapkan pundi-pundi rezeki, namun apes yang didapatkan. Semua makanan terbuang sia-sia.
Itu mengapa, saat aku melihat apa yang menimpa Ibu Saeni, hatiku sangat terpukul sekali. Terenyuh rasanya. Tak kuasa aku melihat ketika para petugas Satpol PP memasukkan dengan paksa barang dagangan Bu Saeni kedalam plastic bening itu. Kejam sekali rasanya. Aku rasa, apa yang dia alami selama berdagang, tidak beda jauh dengan apa yang Ibuku dan aku pernah alami juga. Jerih payah untuk menghasilkan masakan untuk dijual, dengan seenaknya disita dengan cara yang tidak manusiawi dan keji. Aku membayangkan masakan-masakan Ibu Saeni yang disita petugas itu, seperti masakan-masakan yang harus Ibuku buang karena tidak laku di siang harinya. Entahlah, kadang aku sampai tidak bisa merasakan apa-apa jika mengingat kejadian itu, saking tak kuasa menahan sedih dan sakitnya. Rasa “BAPER” inilah yang kemudian membuatku bereaksi keras pada saat isu Ibu Saeni itu dan membuatku untuk berkoar-koar di FB ini. Bukan masalah agama, tapi masalah kemanusiaan. Kasih sayang. Bukan KEDURJANAAN!
Semoga Tuhan melimpahkan rahmatnya bagi kita semua pada bulan Ramadhan ini, bagi mereka yang sulit mencari rezeki, juga bagi mereka, para Ibu-Ibu kita yang luar biasa!