Calon Guru = Calon Pengangguran
Belakangan ini, begitu banyak isu-isu pendidikan yang bertebaran di media masa dan tersebar luas ke masyarakat. Dari mulai mahalnya biaya pendidikan, sarana sekolah yang kurang memadai, dan peningkatan keprofesionalan guru. Salah satunya adalah PPG. Program Pelatihan Profesional Guru (PPG) yang akan diterapkan pemerintah menuai banyak permasalahan. Program Pelatihan Profesional Guru (PPG) yang seharusnya menjadi titik tolak perubahan peningkatan kualitas calon guru di Indonesia, kini menjadi momok yang sangat menakutkan bagi mereka, karena program ini tidak banyak membawa keuntungan namun malah banyak membawa kerugian. PPG yang semula dilakukan pemerintah untuk memberikan pelatihan dan pembekalan bagi calon guru, harus berakhir dengan protes dikalangan masyarakat dan terutama calon guru.
PPG yang mulai dicanangkan pemerintah adalah program pelatihan calon guru dalam jangka waktu selama satu tahun setelah para calon guru wisuda dari Universitas mereka masing-masing. Mereka akan diberikan keterampilan dan metode mengajar yang professional di dalam program ini. Hal ini bertujuan untuk sebagai langkah awal meningkatkan kualitas sumber daya guru di Indonesia. Program ini semula dinilai baik oleh masyarakat luas, Namun prosedur dan aturan main yang digunakan dinilai tidaklah sesuai dan fleksibel dilakukan di Indonesia. Menurut para calon guru dan para pakar pendidikan program ini masih diragukan keberhasilanya. Mengapa hal ini bisa terjadi ?
Yang menjadi masalah pertama adalah program ini bisa diperuntukan bagi siapa saja (tidak harus berasal dari fakultas/perguruan tinggi pendidikan) (Dikti, 2010) asalkan mereka punya keinginan untuk menjadi guru. Dengan kata lain semua sarjana perguruan tinggi dapat ikut serta dalam program ini dan akhirnya mereka dapat menjadi guru. Yang sangat disayangkan adalah peserta pelatihan program ini sangatlah terbatas, yang notabenya tidak dapat mengkover dan memfasilitasi semua sarjana calon guru untuk mengikuti program tersebut. Kalau program ini berjalan demikian, lalu apa yang akan terjadi kepada sarjana calon guru?
Yang kedua adalah pabila sarjana calon guru tersebut tidak mengikuti program ini mereka belum/tidak bisa menjalankan profesinya sebagai seorang guru di sekolah yang ingin mereka ajar. Untuk menampung semua sarjana calon guru saja program ini tidak cukup mampu, apalagi harus ditambah mereka (yang berasal dari Fakultas/Perguruan Tinggi non Pendidikan) akan ikut serta didalam program ini, yang tidak lain mereka pun bertujuan untuk menjadi seorang guru sesuai bidang yang mereka kuasai. Hal ini karena begitu minimnya lapangan pekerjaan di Indonesia yang tidak dapat menampung mereka didunia pekerjaan setelah mereka wisuda, dan akhirnya mereka memutuskan untuk menjadi guru karena profesi guru belakangan ini yang sangat diminati oleh kebanyakan orang dan memiliki prospek yang bagus.
Namun,fenomena meningkatnya mereka yang berasal dari non pendidikan yang ingin menjadi guru sangat berdampak negatif bagi mereka sarjana calon guru. Lebih parahnya adalah program ini sangat terbatas kuotanya yang mustahil dapat menamoung semua sarjana baik mereka yang berasal darim latar belakang pendidikan maupun non pendidikan. Misalnya apabila dalam kurun waktu satu tahun ada 18.000 calon guru diwisuda , dan kesempatan mereka untuk dapat diterima mengikuti program ini hanya 3000-5000 orang, lalu akan dikemanakan 13.000 sarjana lainya ? Menganggur, itulah jawaban yang pasti akan terjadi apabila program ini dilaksanakan. Apabila misalnya tiap tahun sarjana calon guru meningkat hingga 35% namun setelah wisuda hanya 10-15% yang hanya bisa mengikuti program ini dan akhirnya menjadi guru, sedangkan mereka telah menghabiskan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Mereka minimal harus menempuh 4 tahun untuk mendapatkan gelar sarjana pendidikan yang akhirnya nasib mereka tidak tentu mau kemana dan jadi apa.
Masalah yang berikutnya adalah semua sarjana calon guru baik yang berasal dari fakultas pendidikan maupun yang berasal dari non pendidikan mereka semua wajib mengikuti program ini terlebih dahulu, baru nantinya mereka bisa mendaftarkn diri mereka dan diakui menjadi guru oleh Diknas. Mungkin apabila program PPG ini tidaklah diwajibkan, masalah besar dan kontraversi ini tidaklah akan terjadi dikalangan masyarakat lebih tepatnya bagi mereka sarjana calon guru. Dengan kata lain, untuk menjadi seorang guru seperti yang dicita-citakan oleh mereka khususnya yang berasal dari fakultas pendidikan memiliki syarat yang lebih berat lagi yang sebelumnya tidak pernah seberat ini. Karir mereka untuk menjadi seorang guru menjadi terancam.
Bisa kita bayangkan nasib dan masa depan mereka para sarjana calon guru yang sudah sekian lama menempuh pendidikan mati-matian untuk mwujudkan cta-cita merka menjadi seorang guru yang bisa turut berkontribusi memajukan anak bangsa, harus terhalangi karena program PPG ini. Ini sama saja pemerintah tidak dapat menempatkan mereka pada tempatnya sesuai dengan semboyan “right man in the right place”. Program ini justru malah akan meningkatkan jumlah pengangguran di Indonesia yang akhirnya akan meningkatkan jumlah angka kemiskininan di Negara kita tercinta ini.
Keprofesionalan seorang guru yang selama ini diidam-idamkan oleh pemerintah nampaknya tidaklah dapat diselesaikan melalui jalan ini. Karena belum nampak tujuan yang jelas untuk kemajuan para nasib sarjana calon guru terutama mereka yang berasal dari fakultas pendidikan. Perlu adanya perbaikan disetiap sisi dan aturan main yang dijalankan dalam program ini agar program yang awalnya untuk menyelesaikan masalah malah akhirnya menimbulkan masalah besar yang baru. Perlu juga pemerintah menyesuaikan dengan kondisi sumber daya manusia khususnya sumber daya calon guru yang tiap tahunya meningkat dan meningkatnya permintaan calon guru di Indonesia agar nantinya program ini bisa sinkron dan seimbang dengan keadaan dan situasi di Indonesia.
Ada baiknya, pemerintah mulai mencanangkan program baru yang lebih fleksibel dan fair antara kebijakan yang diberikan pemerintah dengan objek sasaran yang ditujukan oleh pemerintah yaitu mereka para calon guru. Agar persepsi mereka bahwa calon menjadi guru adalah hal yang postif dan profesi yang menjajanjikan serta profesi yang sangat mulia tidak berubah menjadi profesi yang susah, sulit, dan membutuhkan ini itu untuk mencapainya. Dan juga menjadi sorang guru harus dibutuhkan keikhlasan dalam menjalaninya, dan apabila program ini terus dijalankan dengan aturan main yang berlaku saat ini, dikhawatirkan pola pikir mereka menjadi berubah dan tidak ada keikhlasan bagi mereka untuk menjalankan profesinya.
Begitu miris apabila fenomena terus terjadi dan berkelanjutan pada kita ataupun pada masayarakat dan juga para generasi muda calon guru (fresh graduate). Pemerintah seharusnya lebih jeli lagi dalam mencanangkan dan memutuskan suatu program, yang kiranya itu tidak membawa kemajuan bagi Indonesia namun membawa kesengsaraan bagi masyarakat. Atau mungkin pemerintah harus bisa lebih fleksibel dan merubah aturan main untuk bisa memfasilitasi semua calon guru agar mereka bisa mendapatkan hak-hak mereka setelah mereka wisuda, yaitu untuk menjadi seoarang guru, yang dapat berkontribusi memajukan pendidikan anak bangsa.
By : Muhammad Iqbal Maulana
2010120050
Section D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar