Kamis, 03 November 2016

"Ketika Bumi Menjadi Sajadah Kami"



Ketika disini, di negara ini, masih disibukkan soal SARA. Agama A lebih baik dari agama B, agama B adalah kafir, kafir masuk neraka, dan darahnya halal untuk ditumpahkan. Di sisi lain, sebahagian dari kami, hidup sebagai minoritas di belahan dunia lain. Jangankan untuk mendengar adzan, sholat di masjid, dan mendengar pengajian, arah kiblat pun kami tak tahu kemana. Hanya dengan aplikasi di HP baru kami tahu dimana kiblat ketika kami hendak sholat.
Beginilah kami, kehidupan kami, sebagai minoritas di belahan dunia lain. Ketika selama ini, tempat ibadah sangat mudah ditemukan, adzan selalu dikumandangkan dimana-mana, juga tempat berwudhu yang tersedia dengan nyaman, kami harus berjibaku dengan jadwal kuliah yang kadang berbenturan dengan jadwal sholat, mencuri-curi waktu agar dapat sholat dan juga break lunch sebelum kelas berikutnya dimulai, berwudhu di westafel dengan segala keribetan-nya, juga memilih tempat sholat yang tidak jauh dari kelas yang akan kami tempati berikutnya. Kelas, beranda, koridor, perpustakaan, taman, apapun. Apapun tempatnya yang kira-kira tersembunyi dari keramaian karena kami tak ingin membuat mereka berfikir tidak-tidak tentang ritual yang kami lakukan. Belum lagi ketika winter, pergantian waktu yang begitu aneh buat kami. Dimana waktu zuhur ke ashar dan ashar ke magrib yang sangat pendek. Ashar jam 02.00 pm dan magrib jam 04.00.pm. Sangat pendek. Dan saat itu, seringnya kami sedang berada di tengah-tengah perkuliahan yang sangat sulit mencuri waktu hanya untuk sholat. Walhasil, sholat-sholat kami, kami jamak. Kadang taqdim, kadang ta'khir. Sesempatnya. Namun disitulah kami belajar, bahwa kami sebagai muslim sudah sangat merdeka di negeri asal kami. Tak ada yang mengusik kami dalam beribadah.
Pertanyaannya, apakah kita sudah perduli dengan keadaan mereka si minoritas di negara ini? Sudah terlalu sering kata kafir terucap dibelakang mereka. Kadang aku terus terang malas mendengarkan khutbah jumat belakangan ini, karena pilkada selalu jadi topiknya. Ntah berapa kali kata kafir berdengung di dalam isi khutbahnya. Miris terus terang. Beginikah seharusnya kita menjadi mayoritas? Berkali-kali mendiskrditkan mereka ditengah kehidupan sosial bermasyarakat? Beginikah kita yang masih terus men-judge mereka kafir dan ahli neraka? Tidak cukupkah kita mengganggu mereka dengan suara adzan 5 kali dalam sehari bahkan disaat waktu istirahat mereka di waktu subuh? Padahal, mereka tidak butuh suara adzan itu. Tapi demi mengingatkan kita untuk sholat, merekapun menjadi korban.
Sobat, selama ini kita sudah sangat merdeka di negeri ini sebagai seorang muslim. Tak ada yang mengganggu kita untuk ibadah dengan nyaman. Sekarang saatnyalah kita juga harus mengahargai mereka para minoritas. Mereka sudah banyak mengalah. Sekarang, saatnya kitalah yang berbenah. Sudah terlalu banyak hak-hak mereka yang kita rampas karena ibadah kita.
Sungguh teman, sangat tidak enak menjadi minoritas. Sulit. Was was. Tapi sekalipun mereka tidak pernah mengucilkan kami saat kami beribadah di negeri mereka. Tak ada kata rasis yang terlempar dari ucapan mereka. Bahkan saat teror di Paris, banyak mereka yang mengadakan seminar tentang islamophobia. Mereka menebarkan pengertian dan cinta, bahwa bukan muslim lah yang melakukannya.
Wahai kawan. Sudah cukup banyak tenaga dan waktu kita habiskan untuk berperang dalam isu ini. Ini saatnya kita bersatu kembali. Sudah saatnya kita memperbaiki begitu banyak permasalahan di negeri kita tercinta ini. Lupakanlah apa agama mereka. Asalkan mereka orang baik, dan tidak berbuat kerusakan, cintailah mereka. Bukan salah mereka dilahirkan beragama A dan B, mereka tidak memliki kesempatan untuk memilih. Jika mereka punya, tentu mereka akan memilih menjadi mayoritas.
Fellas, beragamalah dengan cinta. Cintailah mereka dengan seharusnya. Hentikan cemoohan yang memojokkan ras dan agama mereka. Kita satu, satu untuk negara tercinta ini. Jangan sampai yang sudah satu, harus terpecah belah lagi.
Foto dibawah ini diambil saat kami berada di Cardiff. Kebingungan mecari tempat sholat karena kami sedang berwisata. Di kota yang kami tidak familiar sama sekali. Tapi itu bukan alasan kami untuk tidak berusaha menunaikan kewajiban kami sebagai individu yang beragama. Kamipun memilih beranda gedung ini. Gedung seni salah satu kampus di Cardiff, Wales. Walaupun didalamnya sedang ada acara live music performance, tapi kami tetap khusyuk membaca ayat-ayatNya. Kami mensyukuri, walaupun sulit, kami masih bisa menemuiNya dalam sujud kami.

"HILANG, NAMUN KEMBALI"

Readers, mungkin masih ingat beberapa waktu lalu aku pernah posting sebuah cerita tentang TEMPE dan Penjaga Toko Oriental (bagi yang belum sempat membaca, dapat membacanya di halaman blog saya www.ceritaiqbal.com dengan judul "Just Bring It Home, I Dont Want You Coming Back Empty Handed") yang menceritakan begitu baik dan humanisnya masyarakat Inggris.
Kali ini, aku akan menceritakan pengalaman dan kejadian yang tak kalah menggugah hati dan mendecak kagum tentang bagaimana sesungguhnya sifat orang-orang Inggris yang patut dijadikan contoh.
Kala itu aku dan ketiga teman sekelasku sedang berlibur di kota Glasgow, Skotlandia. Ketika hendak naik shuttle bus dari bandara Glasgow menuju hotel kami, ternyata aku menyadari bahwa dompetku sudah berpindah tangan. Entah jatuh, atau dicuri orang. Aku tak tahu. Aku curiga kalau dompetku terjatuh di toilet karena setelah landing aku singgah sebentar ke toilet. Aku sudah mulai pucat dan ketakutan. Bukan karena uang didalamnya, bukan pula karena kartu kredit dan ATM yang juga didalamnya, melainkan BRP (Biometric Resident Permit/pengganti visa) ku yang ada di dompet itu. Kalau sampai itu hilang, aku harus mengurusnya dari awal seperti aku membuat ulang visa baru, juga akan memakan waktu dan banyak biaya. Kalut sudah pikiranku. Temanku menyarankan untuk memblokir semua kartu perbankanku. Akupun tak tunggu lama melakukannya.
Setelah selesai, aku dan ketiga temanku kembali masuk ke dalam bandara dan meminta tolong beberapa petugas kepolisian yang sedang berjaga di seputaran bandara tersebut. "Excuse me, sir. I think I've lost my wallet. I bet I dropped it off when I was in the loo". Aku berkata kepada seorang anggota polisi. "What's inside it?" Dia bertanya lembut. "A couple of money, student card, BRP card, and debit cards". Jawabku panik. "Okay, you just wait here and I'll try to find it". Ujarnya. Aku berharap cemas. Bayangan bagaimana sulit dan repotnya membuat ulang BRP sudah berkelibat di kepalaku. Belum lagi biaya yang harus aku keluarkan. Juga "complicated"nya jika harus bolak-balik Bristol-London untuk mengurusnya. Aku hanya bisa pasrah. Semoga akan ada titik cerah.
Kurang lebih 20 menit kami menunggu di lobi bandara, petugas kepolisian yang tadi berjanji mencarikan dompetku di toilet sudah kembali. "Ah, sepertinya ketemu nih!" Batinku. "Sorry, mate. I couldn't find it. I tried to look it out in the toilet and all over the corridors, but nothing found". Terangnya. "Mati aku!" Ujarku dalm hati. "Dimana aku menjatuhkannya? Atau jangan-jangan benar dicuri orang? Ah tapi siapa? Dimana?" Pertanyaan itu terus muncul didalam hatiku. "Sir!" Si polisi membuyarkan lamunanku. "Ah that's alright. I'll try to contact my airplane's customer service. Just incase I dropped it off on the plane." Jawabku dengan berusaha untuk tetap tenang. "Please do." Si polisi menjawab. Kemudian aku menghubungi customer service Easyjet (maskapai yang aku gunakan) juga bandara Bristol siapa tahu dompetku terjatuh disana. Tapi tetap nihil. Aku mencoba menghela nafas panjang, menjernihkan fikiranku. Mencoba tenang dan menghilangkan rasa panikku. "Hemh, mau liburan malah apes begini!!!" Ujarku dalam hati. Kemudian aku menghampiri polisi tadi dan mengabarkan kalau baik pihak maskapai dan bandar Bristol-pun tidak menemukannya.
"Okay. So you can just go now to your hotel. If we find it later, I'll immediately call you". Si polisi berkata. "Here is your lost-stuff ticket. You can use it when you want to make a new BRP". Tambahnya sambil menanyakan beberap detail tentang identitas dan kontak yang dapat dihubungi. "What? Baik sekali polisi ini!" Gumamku dalam hati. Bahkan dia yang menawarkan surat kehilangan kepadaku. Bukan aku yang meminta. Tentu surat ini sangat penting. Tanpa surat keterangan ini aku tak akan dapat mengurus BRP yang baru di KBRI London. Jika aku ada di Indonesia, tentulah aku yang harus mengemis surat kehilangan ini. Belum lagi selalu ada mahar untuk pembuatannya. Tapi tidak bagiku disini. Si pak polisi yang menawarkan. And it's for free!!! Karena ini merupakan tanggung jawab dia sebagai pengayom masyarakat. "Have you got some cash? If you need some cash I can give you some". Pak polisi bertanya lagi padahal aku belum sempat berterimakasih. "What? Apa aku tak salah dengar? Dia menawarkanku uang?" Aku terus bergumam dalam hati keheranan mendengarkan apa yang dikatakan oleh pak polisi. "No sir. It's alright. I can borrow it from my friends". Jawabku masih dengan nada keheranan. Polisi ini niat sekali membantuku. Memberikan segala kemudahan. Berbeda sekali dengan yang selama ini aku alami di negeriku sendiri. Prinsipnya sangat terkenal: "kalau bisa dibikin ribet, kenapa dibikin simpel". I love this country so much!
Kemudian aku meninggalkan bandara dan menuju hotel dengan meminjam sejumlah uang dari temanku yang pergi bersamaku. Setelah aku tiba di hotel, aku kemudian mencoba menelpon bandara Bristol karena aku masih penasaran. Ternyata ya. Alhamdulilah. Mereka menemukannya. Mereka kemudian mengkonfirmasi untuk meyakinkan bahwa isi didalam dompetku tak kurang satu apapun, termasuk BRPku. Aku dipersilahkan mengambilnya di meja security ketika aku kembali lagi ke Bristol.
Singkat cerita, setelah aku kembali ke Bristol setelah liburanku usai, aku menuju ke posko security untuk mengambil dompetku yang mereka temukan. Ternyata, ada pemandangan aneh di hadapanku. Terdapat antrian panjang orang-orang yang hendak mengambil barangnya yang tertinggal di bandara. Ada yang ketinggalan iPad, iPhone, laptop, perhiasan, juga barang berharga lainnya. Setelah aku mendapatkan dompetku kembali, aku segera memeriksanya. Alhamdulilah, tidak ada yang berkurang satupun!
Readers, dari pengalamanku kali ini aku sungguh belajar banyak hal. Betapa orang-orang Inggris begitu jujur dan tidak mau mengambil yang bukan hak-nya. Padahal, yang menemukan pasti bukan pejabat ataupun orang berkelas karena aku menjatuhkannya saat di gate keberangkatan. Dapat dipastikan penumpangnya hanya kalangan menegah kebawah karena maskapai yang aku tumpangi adalah maskapai murah. Kemungkinannya, yang menemukan adalah kalau tidak penumpang lain ya kru dari bandara yang ada di gate tersebut.
Teman, sunnguh mulia sekali apa yang telah mereka lakukan. Baik pak polisi maupun petugas bandara yang mengamankan dompetku. Bertindak jujur seperti sudah kebiasaan yang tidak perlu didoktrin akan masuk neraka atau dipotong tangannya ketika di akhirat kelak. Aku pun tak yakin mereka sangat religius (ya seperti kebanyakan orang-orang Inggris lainnya). Tapi apa yang mereka lakukan, menurutku, telah menggambarkan bagaimana seharusnya sesorang yang religius harus lakukan. Pernah juga aku menyaksikkan dengan mata kepalaku seseorang meninggalkan iPadnya di halte bus, dan benda itupun tak bergeser sedikitpun walaupun sudah berada disitu selama berjam-jam ketika aku beberapa jam kemudian kembali ke halte bus itu. Ada juga temanku yang ketinggalan HPnya di bus lokal, dan ajaibnya HP itu tetap ada dan diamankan di kantor bus di terminal.
Aku hanya merasa aku dihargai selayaknya manusia di negeri itu. Berbeda sekali dengan apa yang aku alami di negeri ini. Aku pernah menjatuhkan iPhoneku ketika hendak berangkat ke Wisma Hijau untuk melaksanakan kegiatan Persiapan Keberangkatan LPDP. Karena sudah aku "locked" dan berikan pesan singkat untuk menghubungiku, si penemu kemudian menghubungiku seminggu kemudian. Dia kemudian meminta tebusan beberapa juta dengan alasan dia membelinya dari orang lain. Terpaksa aku penuhi karena iPhone itu sangat berharga bagiku karena aku membeilnya dengan jerih payah keringatku sendiri. Sudah menjadi korban, namun tetap dikorbankan. Inilah fakta yang nyata terjadi. Perbedaan tingkat kesadaran yang timplang antara masyarakat di negara yang mereka bilang penuh dengan orang "KAFIR", namun apa yang mereka lakukan justru memberi kejelasan kepadaku siapakah sebenarnya yang "KAFIR".
Ternyata, hanya cukup menjadi manusia, yang memiliki rasa dan cinta, sudah cukup membuat dunia penuh dengan kedamaian. Agama? Ya, agama selalu mengajarkan kita kepada kebaikan. Tapi bukan berarti seenaknya men-judge orang yang tidak beragama itu tidak lebih baik dari mereka yang beragama. SALAH BESAR! Mereka telah membuktikan hanya cukup menjadi manusia yang sebenarnya, tanpa agama, mereka dapat menunjukkan akhlakul karimah yang banyak orang yang katanya beragama tidak mempunyainya. Itu hal sulit yang faktanya memang harus kita terima.
Mari kita menjadi insan yang lebih baik lagi dari hari ke hari.
Salam.

Senin, 31 Oktober 2016

-Bu Saeni dan Ibuku--

Masih tentang Bu Saeni. Perempuan paruh baya yang baru-baru ini menuai kontroversi perihal dirazia-nya warteg milik Ibu tersebut karena diannggap melanggar perda setempat, tetap buka di siang hari pada bulan Ramadhan.
Sebagai orang yang cukup aktif sebagai pengguna social media, aku cukup keras merespon tindakan SatPol PP yang merazia warung makan milik Ibu Saeni tersebut. Tak hanya merespon, perkataan nyinyirpun tak kuasa kutahan dari jemariku yang terus memaksa untuk mengetik dikolom status FB-ku. Jika teman-teman di FB-ku merasa terganggu akan hal ini, mungkin ini saatnya aku meminta maaf yang sebesar-besarnya.
Kembali ke masalah Ibu Saeni. Sebenarnya, para Netizen bereaksi bukan hanya karena satu alasan saja, masalah siapa yang harus dihormati, ataupun masalah menutup rezeki orang selama bulan Ramadhan. Namun bisa jadi karena ada hal lain yang sifatnya lebih kepada pengalaman personal. Contohnya aku.
Masih terekam jelas video di benakku, kala petugas Satpol PP menyita dagangan makanan Bu Saeni dengan paksa, dan kemudia memasukkannya kedalam plastik putih berukuran besar. Yah, kira-kira seukuran poly-bag. Disisi lain, tangan Bu Saeni yang penuh keriput dan kerutan menahan tangan-tangan kasar para petugas SatPol PP yang tengah sibuk "meringkus" semua barang dagangan Bu Saeni secara paksa. "Ya Tuhan!" Sakit sekali rasa hatiku melihat apa yang jelas terpampang tepat didepan mataku, meski hanya dalam sebuah video.
Ya, rasanya sakit sekali. Pemandangan menyakitkan ini kemudian membawaku pada sekitar 8 tahun yang lalu. Waktu dimana ibuku mencoba mengadu peruntungan dengan membuka warung makan kecil-kecilan di daerah Pringsewu, Lampung. Sedangkan ayahku tidak tinggal bersama aku dan ibuku karena harus mengurusi pertambakan udang-nya, yang juga tak lagi menghasilkan. Hanya ada aku, ibuku, dan adikku yang masih duduk di kelas 1 SD saat itu. Sedangkan aku duduk di kelas 11 SMA.
Pekerjaan sebagai pengelola warung makan tidaklah mudah kawan-kawan. Sangat melelahkan. Ditambah lagi, mamaku tidak memiliki pembantu saat itu. Sedangkan pekerjaan mamaku tidak hanya untuk mencari uang, tapi juga harus mengurusi keluarga, juga mendidik anak-anaknya. Bagaimana tidak berat, dikala hampir setiap orang masih terlelap, mamaku harus bangun pukul 03 pagi untuk kepasar, agar mendapatkan sayuran dan bahan-bahan makanan yang masih segar. Ditinggalkannya lah aku dan adikku setiap hari dikala itu di rumah. Bayangkan, seorang perempuan yang tak lagi muda usianya, harus melawan dinginnya udara pagi, menusuk hingga ke tulang dan sendi-sendi, kejam sekali. Juga, harus berjibaku dan berhimpitan dengan banyak orang di pasar, sembari menahan rasa kantuk yang terus mengutuk, yang kadang tak urung untuk dibujuk. Itu baru tahap awal.
Setibanya di rumah, Ibuku harus membersihkan seisi rumah, juga seisi ruangan warung makan agar tetap sedap dipandang mata, jika pembeli hendak singgah dan berbelanja. Aku tidak hanya tinggal diam tentunya. Sering kali tugas ini aku yang ambil alih sebelum aku berangkat ke sekolah. Ku rapikan rumahku, ku sapu, ku pel, ku bereskan semua yang tak terlihat pada tempatnya. Setelah itu, ku cuci semua piring-piring kotor bekas para pelanggan yang makan di malam hari sebelumnya. Ya, ini rutinitasku semasa SMA. Beruntunglah kalian yang bangun tidur masih bisa kesiangan, langsung mandi, dan sarapan sudah tersedia di meja, disaat hendak pergi ke sekolah.
Kembali lagi ke Ibuku. Sesampainya di rumah, ibuku kemudian memasak beberapa jenis masakan dengan tangannya sendiri. Sayur tumis, sayur kuah santan, ikan goreng, ayam goreng, telur goreng, aneka gorengan, dan banyak lagi. Bayangkan, semua dikerjakan oleh Ibuku seorang. Lebih parahnya, tak sekalipun Ibuku menggunakan blender untuk membuat bumbu masakan-masakan tersebut melainkan dengan ulekan tangan secara tradisional. Selain mahal, juga "magic" dari ulekan tangan juga lebih lezat. Tak heran jika Ibuku sering mengeluh tangannya pegal di malam hari sebelum ia tidur. Semua dikerjakan sendiri oleh Ibuku setiap pagi. Sedangkan aku dan adikku harus berangkat ke sekolah. Kadang aku tak kuasa membayangkan luar biasanya Ibuku harus “mengulek” bumbu-bumbu dan rempah-rampah yang ia gunakan untuk memasak bahan makanan itu. “Tak letihkah ia?” Sungguh, satu inginku saat itu. Aku hanya ingin jadi orang sukses. Membahagiakan Ibuku, mengajaknya jalan-jalan, dan membelikan apapun yang ia inginkan. Tak jarang, selagi memasak, banyak pelanggan Ibuku yang mencari makanan dipagi hari, sekedar untuk sarapan. Jika mereka datang, pastilah Ibuku mondar-mandir ke dapur dan ke etalase karena sembari mengecek apakah masakan yang ia tinggalkan diatas kompor sudah siap atau belum. Dan ya, semua dilakukan olehnya seorang.
Disaat aku tiba di rumah sepulang sekolah, hal pertama yang aku lakukan adalah mengecek etalase. Sering ku jumpai ibuku tengah terlelap didepan TV, sekedar menghilangkan rasa letihnya. Nampak olehku wajah suci dan mulianya ia sebagai seorang Ibu. Ingin sekali aku memeluknya, membasuh peluhnya, dan menggantikan semua beban yang dipikulnya. Disaat aku melihat etalase, aku akan sangat bahagia jika saat itu, baskom-baskom dan piring makanan itu kosong karena pastinya laku terjual. Jika hal ini terjadi, aku kemudian yang menggantikan Ibu untuk memasak menu untuk makan malam. Ya, karena memang warung makan kami buka sampai malam. Aku memang pandai memasak, meskipun aku seorang lelaki. Karena Ibuku menurunkan bakat memasaknya kepadaku. Tak heran jika aku selalu masak beraneka macam makanan selama aku disini, di Bristol. Setelah memasak, aku mencuci piring-piring kotor bekas para pelanggan Ibuku yang makan di warung makan kami. Setelah itu, aku membersihkan ruangan warung makan kami dan mengepelnya. Lelah sekali rasanya. Setelah seharian aku di sekolah, namun aku masih harus berjibaku dengan semua pekerjaan ini. Tapi aku tak punya pilihan, aku harus meringankan pekerjaan Ibuku. Tak jarang aku protes akan nasibku kala itu. Ketika meilhat teman sebayaku, mereka dengan asiknya nongkrong sepulang sekolah, kumpul-kumpul di rumah teman, atau sekedar pergi ke kafe untuk dikatakan sebagai anak gaul. Namun nasibku tak membawaku pada dunia yang seperti itu. Tak heran, jika aku menjadi anak yang kurang up to date dan gaul. Namun, menjadi tidak gaul lebih baik asalkan Ibuku dapat tidur terlelap disiang hari karena pekerjaannya sudah aku ambil alih.
Akan tetapi, ada kala dimana hatiku merasa teriris-iris, tersayat-sayat, dan terpotong-potong menjadi beberapa bagian. Ini adalah dimana ketika setibanya aku dirumah, dan melihat etalase, makanan masih tersisa banyak, baskom-baskom masih penuh, piring-piring tak terlihat berkurang isinya. Ketika aku bertanya pada Ibuku, “Mah, hari ini sepi?” Ibuku hanya menjawab, “Iya. Sepi banget dari pagi.” Tak kuasa aku melihat raut wajahnya, menunjukkan rasa kecewanya. Dan, jika sampai malam makanan-makanan itu masih tidak laku terjual, makanan-makan mudah basi terpaksa terbuang sia-sia. Perih. Perih sekali rasanya ketika harus membuang semua makanan-makanan yang tidak laku terjual tersebut. Terbayang olehku, beratnya Ibuku bangun saat dini hari menahan dingin untuk kepasar, banyaknya tetesan peluh Ibuku yang membanjiri tubuhnya saat berdesakkan disana, pegalnya tangan Ibuku dikala mengulek bumbu-bumbu, dan semua perjuanganku membantu Ibuku dalam mempersiapkan semua makanan ini menghantui pikiranku. Mengharapkan pundi-pundi rezeki, namun apes yang didapatkan. Semua makanan terbuang sia-sia.
Itu mengapa, saat aku melihat apa yang menimpa Ibu Saeni, hatiku sangat terpukul sekali. Terenyuh rasanya. Tak kuasa aku melihat ketika para petugas Satpol PP memasukkan dengan paksa barang dagangan Bu Saeni kedalam plastic bening itu. Kejam sekali rasanya. Aku rasa, apa yang dia alami selama berdagang, tidak beda jauh dengan apa yang Ibuku dan aku pernah alami juga. Jerih payah untuk menghasilkan masakan untuk dijual, dengan seenaknya disita dengan cara yang tidak manusiawi dan keji. Aku membayangkan masakan-masakan Ibu Saeni yang disita petugas itu, seperti masakan-masakan yang harus Ibuku buang karena tidak laku di siang harinya. Entahlah, kadang aku sampai tidak bisa merasakan apa-apa jika mengingat kejadian itu, saking tak kuasa menahan sedih dan sakitnya. Rasa “BAPER” inilah yang kemudian membuatku bereaksi keras pada saat isu Ibu Saeni itu dan membuatku untuk berkoar-koar di FB ini. Bukan masalah agama, tapi masalah kemanusiaan. Kasih sayang. Bukan KEDURJANAAN!
Semoga Tuhan melimpahkan rahmatnya bagi kita semua pada bulan Ramadhan ini, bagi mereka yang sulit mencari rezeki, juga bagi mereka, para Ibu-Ibu kita yang luar biasa!

--Just Bring Them. I Don't Want You to Go Home Empty-Handed--

Peristiwa ini mungkin sering terjadi di Indonesia, namun sangat asing dan aneh ketika aku mengalaminya disini. Tepatnya dua hari yang lalu, sepulangnya aku dari Mabes PPI Bristol, di seputaran city centre. Saat itu sedang hujan yang cukup deras, cuaca yang sangat jarang terjadi disini. Tetap ada hujan, namun biasanya hanya rintik-rintik. Berbeda dengan hari itu yang cukup deras.
Dengan membawa payung yang berukuran cukup besar, aku melewati kawasan city centre untuk kembali ke apartemenku di dekat komplek kampus University of Bristol. Aku melangkah dan terus berjalan meski hujan tak sedikitpun menunjukkan tanda akan berhenti. City centre merupakan kawasan pusat perbelanjaan dimana mall dan toko-toko bertebaran, yang juga merupakan tempat-tempat yang harus aku lewati dalam perjalananku pulang saat itu.
Hujan tidak semakin reda, namun sebaliknya semakin luar biasa. Hasilnya, celana dan sepatuku menjadi semakin basah karena payung tak kuasa melindungiku dari derasnya cucuran hujan dari yang sang Maha Pencipta. Aku ingin sekali memutuskan untuk berteduh, namun harus mencari tempat yang pas untuk melindungiku dari percikan hujan yang terus menggaduh. Rasanya tak mungkin ku lanjutkan berjalan, karena jarak menuju apartemenku masih sekitar 10 menitan. Kulihat didepan mataku sebuah toko oriental yang tak begitu besar dibandingkan dengan toko oriental lainnya yang terdapat di Bristol. Tiba-tiba aku teringat bahwa aku butuh untuk membeli tempe karena aku berencana membuat tempe mendoan untuk menu berbuka puasa, dan kebetulan stok tempe di toko oriental didekat apartemenku sedang kosong.
Setelah kulipat payungku, ku letakkan prisai yang melindungiku saat hujan tersebut didepan toko oriental itu. Dengan sedikit tergesa karena kedinginan, aku masuk ke dalam toko oriental tersebut. Aku menuju area penyimpanan bahan makanan beku atau freezer yang ditempatkan agak disudut dan dibelakang ruangan toko tersebut. Kubuka salah satu freezer disudut tersebut, dan syukurlah, masih ada beberapa stok tempe didalamnya. Ku ambil dua buah tempe, tiga buah indomie goreng, juga seikat bayam. Dengan wajah sumringah aku menghampiri kasir dan hendak membayar. "Akhirnya, makan tempe aku hari ini". Aku membatin.
Namun perasaan sumringah itu tiba-tiba hilang melihat selembar kertas tertempel di meja kasir dan bertuliskan "Our card machine is out of service. We accept cash only." Celaka! Aku memang sangat jarang membawa uang tunai, dan hanya membawa kartu debit untuk berbelanja. Untuk lebih meyakinkan, aku bertanya kepada kasir toko tersebut. Dia seorang laki-laki berwajah pure oriental, berusia sekitar 45-50 tahunan. "Excuse me. So you don't accept card, sir?" Tanyaku. "Yes. I am so sorry for this." Jawabnya. Akupun lesu dan lemas. "Gagal deh makan tempe sore ini". Batinku. Dengan berat hati akupun hendak meletakkan kembali barang-barang yang sudah aku ada di tanganku. Namun sebelum itu dia berkata, "But brother, there is a cash point near that shop." Sambil menunjuk arah M&S dibelakangnya yang berjarak sekitar 30 meteran. "I am sorry sir. But it's still raining, I am so lazy to go to that way." Jawabku sedikit kesal karena memang hujan belum berhenti. Semakin kecewa, akupun berjalan kebelakang dan meletakkan kembali indomie ke rak dan tempe kedalam freezer. Tiba-tiba si bapak tersebut mendatangiku dan berkata dengan sangat lembut dan penuh sopan santun, "My friend. If you really need them, you can bring them all and you can pay anytime you pass by. I don't want you going home empty-handed." Tambahnya.
Seakan tak percaya dengan apa yang dia ucapkan, akupun menjawab, "Are you sure, sir? Is it okay for you?". "Yes. you can pay anytime you pass by. It doesn't necessarily need to be today". "But..." belum selesai aku menjawab, dia berkata "I know you are a student. I don't want you to be disappointed because you do not get what you need."
Aku terharu. Dengan berat hati dan tak mengelak akupun bersyukur atas tawaran ini, aku kemudian membawa barang-barang yang aku butuhkan tersebut yang sudah dimasukkan kedalam plastik putih. "This is the recept. Whenever you come here and want to pay, you just show this to me." Pungkasnya. "Yes, sir. Thank you thank you so much for this." Jawabku. "That's alright. This is our mistake. Have a good evening. Enjoy your dinner." Jawabnya.
Aku pun keluar toko tersebut. Ku ambil payungku, ku buka, dan ku berjalan kembali melewati hujan yang belum juga reda. Ditengah guyuran hujan tersebut, aku berkata dalam hati. "Ya Allah. Baik sekali orang itu. Bahkan dia tidak mengenalku. Terus terang aku bukan pelanggan setianya. Akupun sangat jarang ke toko itu, belum tentu sebulan sekali. Namun dia sangat percaya padaku. Seolah dia mengerti aku sedang berpuasa 19 jam, dan sangat mengidamkan tempe untuk berbuka. Ya Allah, berikanlah segala kebaikan hidup untuknya."
Aku sangat tersentuh akan apa yang telah diperbuat oleh pemilik toko tersebut. Dia berbuat baik kepadaku meskipun dia tidak tahu siapa aku, juga tanpa memandang rasku sebagai pendatang di negeri ini. Agama? Aku yakin dia seperti warga Cina lainnya sebagai penganut komunis, namun tak menghalangi niatnya untuk berbuat baik. Meringankan beban orang lain, disaat membutuhkan.
Akan kuingat selalu kebaikan bapak itu. Insya Allah, akan juga menjadikan semangatku untuk berbuat lebih banyak bagi mereka yang membutuhkan. Singkat kata, seseorang tidak perlu beragama untuk berbuat baik. Seseorang hanya butuh menjadi manusia, yang memiliki rasa kemanusiaan. Karena banyak mereka yang mengaku beragama, namun menutup mata ketika melihat mereka yang menderita meminta-minta, bahkan didepan mata mereka.
Chantry Court, Flat 407B, Bristol, UK.
At 03.29 AM
-MyUniversityStory -Motivation

Ketika anak tukang A lebih keren dari anak yang tidak punya orang tua

Congratulations!
Anak tukang A anak tukang B yang dapat prestasi sering sekali ter-blow up media.
Sedangkan anak yang orang tuanya bukan apa-apa, karena mereka sakit atau sudah tiada, mendapat prestasi tidak ada media yang membahas beritanya.
Mungkin berprestasi karena jadi anak Tukang A dan Tukang B ini lebih keren dari pada mereka yang berprestasi tapi tidak (lagi) punya orang tua. *JustOpinion *YouMayDisagree