Ketika disini, di negara ini, masih disibukkan soal SARA. Agama A lebih baik dari agama B, agama B adalah kafir, kafir masuk neraka, dan darahnya halal untuk ditumpahkan. Di sisi lain, sebahagian dari kami, hidup sebagai minoritas di belahan dunia lain. Jangankan untuk mendengar adzan, sholat di masjid, dan mendengar pengajian, arah kiblat pun kami tak tahu kemana. Hanya dengan aplikasi di HP baru kami tahu dimana kiblat ketika kami hendak sholat.
Beginilah kami, kehidupan kami, sebagai minoritas di belahan dunia lain. Ketika selama ini, tempat ibadah sangat mudah ditemukan, adzan selalu dikumandangkan dimana-mana, juga tempat berwudhu yang tersedia dengan nyaman, kami harus berjibaku dengan jadwal kuliah yang kadang berbenturan dengan jadwal sholat, mencuri-curi waktu agar dapat sholat dan juga break lunch sebelum kelas berikutnya dimulai, berwudhu di westafel dengan segala keribetan-nya, juga memilih tempat sholat yang tidak jauh dari kelas yang akan kami tempati berikutnya. Kelas, beranda, koridor, perpustakaan, taman, apapun. Apapun tempatnya yang kira-kira tersembunyi dari keramaian karena kami tak ingin membuat mereka berfikir tidak-tidak tentang ritual yang kami lakukan. Belum lagi ketika winter, pergantian waktu yang begitu aneh buat kami. Dimana waktu zuhur ke ashar dan ashar ke magrib yang sangat pendek. Ashar jam 02.00 pm dan magrib jam 04.00.pm. Sangat pendek. Dan saat itu, seringnya kami sedang berada di tengah-tengah perkuliahan yang sangat sulit mencuri waktu hanya untuk sholat. Walhasil, sholat-sholat kami, kami jamak. Kadang taqdim, kadang ta'khir. Sesempatnya. Namun disitulah kami belajar, bahwa kami sebagai muslim sudah sangat merdeka di negeri asal kami. Tak ada yang mengusik kami dalam beribadah.
Pertanyaannya, apakah kita sudah perduli dengan keadaan mereka si minoritas di negara ini? Sudah terlalu sering kata kafir terucap dibelakang mereka. Kadang aku terus terang malas mendengarkan khutbah jumat belakangan ini, karena pilkada selalu jadi topiknya. Ntah berapa kali kata kafir berdengung di dalam isi khutbahnya. Miris terus terang. Beginikah seharusnya kita menjadi mayoritas? Berkali-kali mendiskrditkan mereka ditengah kehidupan sosial bermasyarakat? Beginikah kita yang masih terus men-judge mereka kafir dan ahli neraka? Tidak cukupkah kita mengganggu mereka dengan suara adzan 5 kali dalam sehari bahkan disaat waktu istirahat mereka di waktu subuh? Padahal, mereka tidak butuh suara adzan itu. Tapi demi mengingatkan kita untuk sholat, merekapun menjadi korban.
Sobat, selama ini kita sudah sangat merdeka di negeri ini sebagai seorang muslim. Tak ada yang mengganggu kita untuk ibadah dengan nyaman. Sekarang saatnyalah kita juga harus mengahargai mereka para minoritas. Mereka sudah banyak mengalah. Sekarang, saatnya kitalah yang berbenah. Sudah terlalu banyak hak-hak mereka yang kita rampas karena ibadah kita.
Sungguh teman, sangat tidak enak menjadi minoritas. Sulit. Was was. Tapi sekalipun mereka tidak pernah mengucilkan kami saat kami beribadah di negeri mereka. Tak ada kata rasis yang terlempar dari ucapan mereka. Bahkan saat teror di Paris, banyak mereka yang mengadakan seminar tentang islamophobia. Mereka menebarkan pengertian dan cinta, bahwa bukan muslim lah yang melakukannya.
Wahai kawan. Sudah cukup banyak tenaga dan waktu kita habiskan untuk berperang dalam isu ini. Ini saatnya kita bersatu kembali. Sudah saatnya kita memperbaiki begitu banyak permasalahan di negeri kita tercinta ini. Lupakanlah apa agama mereka. Asalkan mereka orang baik, dan tidak berbuat kerusakan, cintailah mereka. Bukan salah mereka dilahirkan beragama A dan B, mereka tidak memliki kesempatan untuk memilih. Jika mereka punya, tentu mereka akan memilih menjadi mayoritas.
Fellas, beragamalah dengan cinta. Cintailah mereka dengan seharusnya. Hentikan cemoohan yang memojokkan ras dan agama mereka. Kita satu, satu untuk negara tercinta ini. Jangan sampai yang sudah satu, harus terpecah belah lagi.
Foto dibawah ini diambil saat kami berada di Cardiff. Kebingungan mecari tempat sholat karena kami sedang berwisata. Di kota yang kami tidak familiar sama sekali. Tapi itu bukan alasan kami untuk tidak berusaha menunaikan kewajiban kami sebagai individu yang beragama. Kamipun memilih beranda gedung ini. Gedung seni salah satu kampus di Cardiff, Wales. Walaupun didalamnya sedang ada acara live music performance, tapi kami tetap khusyuk membaca ayat-ayatNya. Kami mensyukuri, walaupun sulit, kami masih bisa menemuiNya dalam sujud kami.