Kamis, 03 November 2016

"Ketika Bumi Menjadi Sajadah Kami"



Ketika disini, di negara ini, masih disibukkan soal SARA. Agama A lebih baik dari agama B, agama B adalah kafir, kafir masuk neraka, dan darahnya halal untuk ditumpahkan. Di sisi lain, sebahagian dari kami, hidup sebagai minoritas di belahan dunia lain. Jangankan untuk mendengar adzan, sholat di masjid, dan mendengar pengajian, arah kiblat pun kami tak tahu kemana. Hanya dengan aplikasi di HP baru kami tahu dimana kiblat ketika kami hendak sholat.
Beginilah kami, kehidupan kami, sebagai minoritas di belahan dunia lain. Ketika selama ini, tempat ibadah sangat mudah ditemukan, adzan selalu dikumandangkan dimana-mana, juga tempat berwudhu yang tersedia dengan nyaman, kami harus berjibaku dengan jadwal kuliah yang kadang berbenturan dengan jadwal sholat, mencuri-curi waktu agar dapat sholat dan juga break lunch sebelum kelas berikutnya dimulai, berwudhu di westafel dengan segala keribetan-nya, juga memilih tempat sholat yang tidak jauh dari kelas yang akan kami tempati berikutnya. Kelas, beranda, koridor, perpustakaan, taman, apapun. Apapun tempatnya yang kira-kira tersembunyi dari keramaian karena kami tak ingin membuat mereka berfikir tidak-tidak tentang ritual yang kami lakukan. Belum lagi ketika winter, pergantian waktu yang begitu aneh buat kami. Dimana waktu zuhur ke ashar dan ashar ke magrib yang sangat pendek. Ashar jam 02.00 pm dan magrib jam 04.00.pm. Sangat pendek. Dan saat itu, seringnya kami sedang berada di tengah-tengah perkuliahan yang sangat sulit mencuri waktu hanya untuk sholat. Walhasil, sholat-sholat kami, kami jamak. Kadang taqdim, kadang ta'khir. Sesempatnya. Namun disitulah kami belajar, bahwa kami sebagai muslim sudah sangat merdeka di negeri asal kami. Tak ada yang mengusik kami dalam beribadah.
Pertanyaannya, apakah kita sudah perduli dengan keadaan mereka si minoritas di negara ini? Sudah terlalu sering kata kafir terucap dibelakang mereka. Kadang aku terus terang malas mendengarkan khutbah jumat belakangan ini, karena pilkada selalu jadi topiknya. Ntah berapa kali kata kafir berdengung di dalam isi khutbahnya. Miris terus terang. Beginikah seharusnya kita menjadi mayoritas? Berkali-kali mendiskrditkan mereka ditengah kehidupan sosial bermasyarakat? Beginikah kita yang masih terus men-judge mereka kafir dan ahli neraka? Tidak cukupkah kita mengganggu mereka dengan suara adzan 5 kali dalam sehari bahkan disaat waktu istirahat mereka di waktu subuh? Padahal, mereka tidak butuh suara adzan itu. Tapi demi mengingatkan kita untuk sholat, merekapun menjadi korban.
Sobat, selama ini kita sudah sangat merdeka di negeri ini sebagai seorang muslim. Tak ada yang mengganggu kita untuk ibadah dengan nyaman. Sekarang saatnyalah kita juga harus mengahargai mereka para minoritas. Mereka sudah banyak mengalah. Sekarang, saatnya kitalah yang berbenah. Sudah terlalu banyak hak-hak mereka yang kita rampas karena ibadah kita.
Sungguh teman, sangat tidak enak menjadi minoritas. Sulit. Was was. Tapi sekalipun mereka tidak pernah mengucilkan kami saat kami beribadah di negeri mereka. Tak ada kata rasis yang terlempar dari ucapan mereka. Bahkan saat teror di Paris, banyak mereka yang mengadakan seminar tentang islamophobia. Mereka menebarkan pengertian dan cinta, bahwa bukan muslim lah yang melakukannya.
Wahai kawan. Sudah cukup banyak tenaga dan waktu kita habiskan untuk berperang dalam isu ini. Ini saatnya kita bersatu kembali. Sudah saatnya kita memperbaiki begitu banyak permasalahan di negeri kita tercinta ini. Lupakanlah apa agama mereka. Asalkan mereka orang baik, dan tidak berbuat kerusakan, cintailah mereka. Bukan salah mereka dilahirkan beragama A dan B, mereka tidak memliki kesempatan untuk memilih. Jika mereka punya, tentu mereka akan memilih menjadi mayoritas.
Fellas, beragamalah dengan cinta. Cintailah mereka dengan seharusnya. Hentikan cemoohan yang memojokkan ras dan agama mereka. Kita satu, satu untuk negara tercinta ini. Jangan sampai yang sudah satu, harus terpecah belah lagi.
Foto dibawah ini diambil saat kami berada di Cardiff. Kebingungan mecari tempat sholat karena kami sedang berwisata. Di kota yang kami tidak familiar sama sekali. Tapi itu bukan alasan kami untuk tidak berusaha menunaikan kewajiban kami sebagai individu yang beragama. Kamipun memilih beranda gedung ini. Gedung seni salah satu kampus di Cardiff, Wales. Walaupun didalamnya sedang ada acara live music performance, tapi kami tetap khusyuk membaca ayat-ayatNya. Kami mensyukuri, walaupun sulit, kami masih bisa menemuiNya dalam sujud kami.

"HILANG, NAMUN KEMBALI"

Readers, mungkin masih ingat beberapa waktu lalu aku pernah posting sebuah cerita tentang TEMPE dan Penjaga Toko Oriental (bagi yang belum sempat membaca, dapat membacanya di halaman blog saya www.ceritaiqbal.com dengan judul "Just Bring It Home, I Dont Want You Coming Back Empty Handed") yang menceritakan begitu baik dan humanisnya masyarakat Inggris.
Kali ini, aku akan menceritakan pengalaman dan kejadian yang tak kalah menggugah hati dan mendecak kagum tentang bagaimana sesungguhnya sifat orang-orang Inggris yang patut dijadikan contoh.
Kala itu aku dan ketiga teman sekelasku sedang berlibur di kota Glasgow, Skotlandia. Ketika hendak naik shuttle bus dari bandara Glasgow menuju hotel kami, ternyata aku menyadari bahwa dompetku sudah berpindah tangan. Entah jatuh, atau dicuri orang. Aku tak tahu. Aku curiga kalau dompetku terjatuh di toilet karena setelah landing aku singgah sebentar ke toilet. Aku sudah mulai pucat dan ketakutan. Bukan karena uang didalamnya, bukan pula karena kartu kredit dan ATM yang juga didalamnya, melainkan BRP (Biometric Resident Permit/pengganti visa) ku yang ada di dompet itu. Kalau sampai itu hilang, aku harus mengurusnya dari awal seperti aku membuat ulang visa baru, juga akan memakan waktu dan banyak biaya. Kalut sudah pikiranku. Temanku menyarankan untuk memblokir semua kartu perbankanku. Akupun tak tunggu lama melakukannya.
Setelah selesai, aku dan ketiga temanku kembali masuk ke dalam bandara dan meminta tolong beberapa petugas kepolisian yang sedang berjaga di seputaran bandara tersebut. "Excuse me, sir. I think I've lost my wallet. I bet I dropped it off when I was in the loo". Aku berkata kepada seorang anggota polisi. "What's inside it?" Dia bertanya lembut. "A couple of money, student card, BRP card, and debit cards". Jawabku panik. "Okay, you just wait here and I'll try to find it". Ujarnya. Aku berharap cemas. Bayangan bagaimana sulit dan repotnya membuat ulang BRP sudah berkelibat di kepalaku. Belum lagi biaya yang harus aku keluarkan. Juga "complicated"nya jika harus bolak-balik Bristol-London untuk mengurusnya. Aku hanya bisa pasrah. Semoga akan ada titik cerah.
Kurang lebih 20 menit kami menunggu di lobi bandara, petugas kepolisian yang tadi berjanji mencarikan dompetku di toilet sudah kembali. "Ah, sepertinya ketemu nih!" Batinku. "Sorry, mate. I couldn't find it. I tried to look it out in the toilet and all over the corridors, but nothing found". Terangnya. "Mati aku!" Ujarku dalm hati. "Dimana aku menjatuhkannya? Atau jangan-jangan benar dicuri orang? Ah tapi siapa? Dimana?" Pertanyaan itu terus muncul didalam hatiku. "Sir!" Si polisi membuyarkan lamunanku. "Ah that's alright. I'll try to contact my airplane's customer service. Just incase I dropped it off on the plane." Jawabku dengan berusaha untuk tetap tenang. "Please do." Si polisi menjawab. Kemudian aku menghubungi customer service Easyjet (maskapai yang aku gunakan) juga bandara Bristol siapa tahu dompetku terjatuh disana. Tapi tetap nihil. Aku mencoba menghela nafas panjang, menjernihkan fikiranku. Mencoba tenang dan menghilangkan rasa panikku. "Hemh, mau liburan malah apes begini!!!" Ujarku dalam hati. Kemudian aku menghampiri polisi tadi dan mengabarkan kalau baik pihak maskapai dan bandar Bristol-pun tidak menemukannya.
"Okay. So you can just go now to your hotel. If we find it later, I'll immediately call you". Si polisi berkata. "Here is your lost-stuff ticket. You can use it when you want to make a new BRP". Tambahnya sambil menanyakan beberap detail tentang identitas dan kontak yang dapat dihubungi. "What? Baik sekali polisi ini!" Gumamku dalam hati. Bahkan dia yang menawarkan surat kehilangan kepadaku. Bukan aku yang meminta. Tentu surat ini sangat penting. Tanpa surat keterangan ini aku tak akan dapat mengurus BRP yang baru di KBRI London. Jika aku ada di Indonesia, tentulah aku yang harus mengemis surat kehilangan ini. Belum lagi selalu ada mahar untuk pembuatannya. Tapi tidak bagiku disini. Si pak polisi yang menawarkan. And it's for free!!! Karena ini merupakan tanggung jawab dia sebagai pengayom masyarakat. "Have you got some cash? If you need some cash I can give you some". Pak polisi bertanya lagi padahal aku belum sempat berterimakasih. "What? Apa aku tak salah dengar? Dia menawarkanku uang?" Aku terus bergumam dalam hati keheranan mendengarkan apa yang dikatakan oleh pak polisi. "No sir. It's alright. I can borrow it from my friends". Jawabku masih dengan nada keheranan. Polisi ini niat sekali membantuku. Memberikan segala kemudahan. Berbeda sekali dengan yang selama ini aku alami di negeriku sendiri. Prinsipnya sangat terkenal: "kalau bisa dibikin ribet, kenapa dibikin simpel". I love this country so much!
Kemudian aku meninggalkan bandara dan menuju hotel dengan meminjam sejumlah uang dari temanku yang pergi bersamaku. Setelah aku tiba di hotel, aku kemudian mencoba menelpon bandara Bristol karena aku masih penasaran. Ternyata ya. Alhamdulilah. Mereka menemukannya. Mereka kemudian mengkonfirmasi untuk meyakinkan bahwa isi didalam dompetku tak kurang satu apapun, termasuk BRPku. Aku dipersilahkan mengambilnya di meja security ketika aku kembali lagi ke Bristol.
Singkat cerita, setelah aku kembali ke Bristol setelah liburanku usai, aku menuju ke posko security untuk mengambil dompetku yang mereka temukan. Ternyata, ada pemandangan aneh di hadapanku. Terdapat antrian panjang orang-orang yang hendak mengambil barangnya yang tertinggal di bandara. Ada yang ketinggalan iPad, iPhone, laptop, perhiasan, juga barang berharga lainnya. Setelah aku mendapatkan dompetku kembali, aku segera memeriksanya. Alhamdulilah, tidak ada yang berkurang satupun!
Readers, dari pengalamanku kali ini aku sungguh belajar banyak hal. Betapa orang-orang Inggris begitu jujur dan tidak mau mengambil yang bukan hak-nya. Padahal, yang menemukan pasti bukan pejabat ataupun orang berkelas karena aku menjatuhkannya saat di gate keberangkatan. Dapat dipastikan penumpangnya hanya kalangan menegah kebawah karena maskapai yang aku tumpangi adalah maskapai murah. Kemungkinannya, yang menemukan adalah kalau tidak penumpang lain ya kru dari bandara yang ada di gate tersebut.
Teman, sunnguh mulia sekali apa yang telah mereka lakukan. Baik pak polisi maupun petugas bandara yang mengamankan dompetku. Bertindak jujur seperti sudah kebiasaan yang tidak perlu didoktrin akan masuk neraka atau dipotong tangannya ketika di akhirat kelak. Aku pun tak yakin mereka sangat religius (ya seperti kebanyakan orang-orang Inggris lainnya). Tapi apa yang mereka lakukan, menurutku, telah menggambarkan bagaimana seharusnya sesorang yang religius harus lakukan. Pernah juga aku menyaksikkan dengan mata kepalaku seseorang meninggalkan iPadnya di halte bus, dan benda itupun tak bergeser sedikitpun walaupun sudah berada disitu selama berjam-jam ketika aku beberapa jam kemudian kembali ke halte bus itu. Ada juga temanku yang ketinggalan HPnya di bus lokal, dan ajaibnya HP itu tetap ada dan diamankan di kantor bus di terminal.
Aku hanya merasa aku dihargai selayaknya manusia di negeri itu. Berbeda sekali dengan apa yang aku alami di negeri ini. Aku pernah menjatuhkan iPhoneku ketika hendak berangkat ke Wisma Hijau untuk melaksanakan kegiatan Persiapan Keberangkatan LPDP. Karena sudah aku "locked" dan berikan pesan singkat untuk menghubungiku, si penemu kemudian menghubungiku seminggu kemudian. Dia kemudian meminta tebusan beberapa juta dengan alasan dia membelinya dari orang lain. Terpaksa aku penuhi karena iPhone itu sangat berharga bagiku karena aku membeilnya dengan jerih payah keringatku sendiri. Sudah menjadi korban, namun tetap dikorbankan. Inilah fakta yang nyata terjadi. Perbedaan tingkat kesadaran yang timplang antara masyarakat di negara yang mereka bilang penuh dengan orang "KAFIR", namun apa yang mereka lakukan justru memberi kejelasan kepadaku siapakah sebenarnya yang "KAFIR".
Ternyata, hanya cukup menjadi manusia, yang memiliki rasa dan cinta, sudah cukup membuat dunia penuh dengan kedamaian. Agama? Ya, agama selalu mengajarkan kita kepada kebaikan. Tapi bukan berarti seenaknya men-judge orang yang tidak beragama itu tidak lebih baik dari mereka yang beragama. SALAH BESAR! Mereka telah membuktikan hanya cukup menjadi manusia yang sebenarnya, tanpa agama, mereka dapat menunjukkan akhlakul karimah yang banyak orang yang katanya beragama tidak mempunyainya. Itu hal sulit yang faktanya memang harus kita terima.
Mari kita menjadi insan yang lebih baik lagi dari hari ke hari.
Salam.